Kelas : 3PA01
Npm : 15510056
Mata Kuliah : Psikologi Lintas Budaya
A. Pengertian Transmisi Budaya
Transmisi budaya
ialah kegiatan pengiriman atau
penyebaran pesan dari generasi yang satu ke generasi yang lain tentang sesuatu
yang sudah menjadi kebiasaan dan sulit diubah.
Budaya merupakan
suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Bahasa, sebagaimana juga
budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak
orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang
berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. mewariskan
budaya dari generasi yang satu ke generasi yang lain melalui sebuah kegiatan
pengiriman atau penyebaran sebuah kebiasaan/adat istiadat yang sulit untuk
diubah disebut dengan transmisi budaya.
B. Bentuk Transmisi Budaya
1. Enkulturasi
Enkulturasi
adalah Proses penerusan kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi
berikutnya selama hidup seseorang individu dimulai dari institusi keluarga
terutama tokoh ibu.
Enkulturasi
mengacu pada proses dengan mana kultur (budaya) ditransmisikan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Kita mempelajari kultur, bukan mewarisinya.
Kultur ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua,
kelompok, teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan merupakan
guru-guru utama dibidang kultur. Enkulturasi terjadi melalui mereka.
2. Akulturasi
Akulturasi
adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing.
Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
Akulturasi
mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau
pemaparan langsung dengan kultur lain. Misalnya, bila sekelompok imigran
kemudian berdiam di Amerika Serikat (kultur tuan rumah), kultur mereka sendiri
akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur, nilai-nilai,
cara berperilaku, serta kepercayaan dari kultur tuan rumah akan menjadi bagian
dari kultur kelompok imigran itu. Pada waktu yang sama, kultur tuan rumah pun
ikut berubah.
3. Sosialisasi
Sosisalisasi
adalah proses pemasyarakatan, yaitu seluruh proses apabila seorang individu
dari masa kanak-kanak sampai dewasa, berkembang, berhubungan, mengenal, dan
menyesuaikan diri dengan individu-individu lain dalam masyarakat. Menurut
Soerjono Soekanto, sosialisasi adalah suatu proses di mana anggota masyarakat
baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana ia menjadi
anggota.
C. Pengaruh Terhadap Perkembangan Psikologi
Individu
a. Pengaruh Enkulturasi terhadap perkembangan
psikologi individu
Enkulturasi
mempengaruhi perkembangan psikologi individu melalui proses belajar dan
penyesuaian alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan
peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.
b. Pengaruh Akulturasi terhadap perkembangan
psikologi individu
Akulturasi
mempengaruhi perkembangan psikologi individu melalui suatu proses sosial yang
timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan
dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Akulturasi terjadi karena sekelompok
orang asing yang berangsur-angsur mengikuti cara atau peraturan di dalam
lingkup orang Indonesia.
c. Pengaruh Sosialisasi terhadap perkembangan
psikologi individu
Beberapa teori
perkembangan manusia telah mengungkapkan bahwa manusia telah tumbuh dan
berkembang dari masa bayi kemasa dewasa melalui beberapa langkah jenjang.
Kehidupan anak dalam menelusuri perkembangnya itu pada dasarnya merupakan
kemampuan mereka berinteraksi dengan lingkungan. Pada proses integrasi dan
interaksi ini faktor intelektual dan emosional mengambil peranan penting.
Proses tersebut merupakan proses sosialisasi yang mendudukkan anak-anak sebagai
insan yang yang secara aktif melakukan proses sosialisasi.
D. Awal
masa perkembangan dan pola kelekatan (attachment) pada ibu atau pengasuh
Hubungan anak
dengan orang tua merupakan sumber emosional dan kognitif bagi anak. Hubungan tersebut
memberi kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan maupun kehidupan
sosial. Hubungan anak pada masa-masa
awal dapat menjadi model dalam hubungan-hubungan selanjutnya. Hubungan awal ini
dimulai sejak anak terlahir ke dunia, bahkan sebetulnya sudah dimulai sejak
janin berada dalam kandungan (Sutcliffe,2002). Klaus dan Kennel (dalam Bee, 1981) menyatakan bahwa masa
kritis seorang bayi adalah 12 jam pertama setelah dilahirkan. Penelitian yang
dilakukan menunjukkan bahwa kontak yang dilakukan ibu pada satu jam pertama
setelah melahirkan selama 30 menit akan memberikan pengalaman mendasar pada
anak.
Hal senada juga dikemukakan oleh Sosa (dalam Hadiyanti,1992) bahwa ibu
yang segera didekatkan pada bayi seusai melahirkan akan menunjukkan perhatian
50% lebih besar dibandingkan ibu-ibu yang tidak melakukannya. Menurut Ainsworth
(dalam Belsky, 1988) hubungan kelekatan berkembang melalui pengalaman bayi
dengan pengasuh ditahun-tahun awal
kehidupannya. Intinya adalah kepekaan ibu dalam memberikan respon atas sinyal
yang diberikan bayi, sesegera mungkin atau menunda, respon yang diberikan tepat
atau tidak.
Kelekatan adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang
bersifat afektif antara satu individu
dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus, Hubungan yang dibina akan
bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman
walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak. Sebagian besar
anak telah membentuk kelekatan dengan pengasuh utama (primary care giver) pada
usia sekitar delapan bulan dengan proporsi 50% pada ibu, 33% pada ayah dan
sisanya pada orang lain (Sutcliffe,2002). Kelekatan bukanlah ikatan yang
terjadi secara alamiah. Ada serangkaian
proses yang harus dilalui untuk membentuk kelekatan tersebut. Berdasarkan
kualitas hubungan anak dengan pengasuh, maka anak akan mengembangkan konstruksi
mental atau internal working model mengenai diri dan orang lain yang akan akan
menjadi mekanisme penilaian terhadap
penerimaan lingkungan (Bowlby dalam Pramana 1996). Anak yang merasa yakin terhadap penerimaan lingkungan akan mengembangkan kelekatan yang aman dengan figur lekatnya (secure attachment) dan mengembangkan rasa percaya tidak
saja pada ibu juga pada lingkungan. Hal
ini akan membawa pengaruh positif dalam proses perkembangannya.
Beberapa
penelitian membuktikan bahwa anak yang memiliki kelekatan aman akan
menunjukkan kompetensi sosial yang baik
pada masa kanak-kanak (Both dkk dalam
Parker, Rubin, Price dan DeRosier, 1995)
serta lebih populer dikalangan teman sebayanya di prasekolah (La Freniere dan Sroufe dalam Parker
dkk, 1995). Anak-anak ini juga lebih
mampu membina hubungan persahabatan yang intens, interaksi yang harmonis, lebih
responsif dan tidak mendominasi (Parke
dan Waters dalam Parker dkk,1995).
Sementara itu Grosman dan Grosman (dalam Sutcliffe, 2002)
menemukan bahwa anak dengan kulitas kelekatan aman lebih mampu menangani tugas
yang sulit dan tidak cepat berputus asa.
Sebaliknya pengasuh yang tidak menyenangkan akan membuat anak tidak percaya dan mengembangkan kelekatan yang
tidak aman (insecure attachment). Kelekatan yang tidak aman dapat membuat anak
mengalami berbagai permasalahan yang
disebut dengan gangguan kelekatan
(attachment disorder). Telah disebutkan di atas bahwa gangguan kelekatan terjadi karena anak
gagal membentuk kelekatan yang aman dengan figur lekatnya. Hal ini akan membuat
anak mengalami masalah dalam hubungan
social. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami
gangguan kelekatan memiliki orang tua
yang juga mengalami masalah yang sama dimasa kecilnya (Sroufe dalam Cicchetty dan Linch,
1995).
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar